Ulos Batak Sebagai Hasil Peradaban
Ulos (Lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah
hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut
catatan beberapa ahli ulos (baca: tekstil) sudah dikenal masyarakat
Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari
India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya alat tenun ke Tanah
Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (Tekstil). Itu artinya belum
juga ada budaya memberi-menerima ulos (Mangulosi).
Kenapa?
Karena nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau
tangki. Pertanyaan: lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru
pada jaman sebelum masyarakat Batak mengenal alat tenun dan tekstil
tersebut?
Pertanyaan itu hendak menyadarkan komunitas Kristen-Batak untuk
menempatkan ulos pada proporsinya.
Ulos pada hakikatnya adalah hasil sebuah tingkat peradaban dalam suatu
kurun sejarah. Ulos pada awalnya adalah pakaian sehari-hari masyarakat
Batak sebelum datangnya pengaruh Barat. Perempuan Batak yang belum
menikah melilitkannya di atas dada sedangkan perempuan yang sudah
menikah dan punya anak atau laki-laki cukup melilitkannya di bawah dada
(buha baju). Ulos juga dipakai untuk mendukung anak (parompa), selendang
(Sampe-sampe) dan selimut (Ulos) di malam hari atau di saat kedinginan.
Dalam perkembangan sejarah nenek-moyang orang Batak mengangkat kostum
atau tekstil (Pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium
pemberian hula-hula kepada boru (Pihak yang lebih dihormat kepada pihak
yang lebih menghormat).
Makna Awal Dari Ulos Batak
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari
itu dijadikan medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari
mertua kepada menantu/ anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman
(tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak
yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan
pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima.
Ulos sebagai simbol kehangatan ini bermakna sangat kuat, mengingat
kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi simbol kehangatan adalah:
matahari dan api. Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos
itu an sich yang memang penting, juga kata-kata (berkat atau pesan) yang
ingin disampaikan melalui medium ulos itu. Kita juga mencatat secara
kreatif nenek-moyang Batak juga menciptakan istilah ulos na so ra buruk
(ulos yang tidak bisa lapuk), yaitu tanah atau sawah.
Pada keadaan tertentu hula-hula dapat juga memberi sebidang tanah atau
ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada borunya. Selain itu juga dikenal
istilah ulos na tinonun sadari (ulos yang ditenun dalam sehari) yaitu
uang yang fungsinya dianggap sama dengan ulos.
Ulos yang panjangnya bisa mencapai kurang lebih 2 meter dengan lebar 70
cm (biasanya disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh)
ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau
berbulan-bulan tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya para
perempuan menenun ulos itu di bawah kolong rumah. Sebagaimana kebiasaan
jaman dahulu mungkin saja para penenun pra-Kristen memiliki ketentuan
khusus menenun yang terkait dengan kepercayaan lama mereka. Itu tidak
mengherankan kita, sebab bukan cuma menenun yang terkait dengan agama
asli Batak, namun seluruh even atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu.
(Yaitu: membangun rumah, membuat perahu, menanam padi, berdagang,
memungut rotan, atau mengambil nira). Mengapa? Karena memang mereka pada
waktu itu belum mengenal Kristus! Sesudah nenek moyang kita mengenal
Kristus, mereka tentu melakukan segala aktivitas itu sesuai dengan iman
Kristennya, termasuk menenun ulos!
Pergeseran Makna Ulos Batak
Masuknya Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus
diakui sedikit-banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos.
Nenek-moyang Batak mulai mencontoh berkostum seperti orang Eropah yaitu
laki-laki berkemeja dan bercelana panjang dan perempuan Batak (walau
lebih lambat) mulai mengenal gaun dan rok meniru pola berpakaian Barat.
Ulos pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum atau
pakaian sehari-hari kecuali pada even-even tertentu. Ketika pengaruh
Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak, penggunaan ulos sebagai
pakaian sehari-hari semakin jarang.
Apa akibatnya?
Makna ulos sebagai kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun
konsekuensinya ulos (karena jarang dipakai) jadi malah dianggap
"keramat". Karena lebih banyak disimpan ketimbang dipergunakan, maka
ulos pun mendapat bumbu "magis" atau "keramat". Sebagian orang pun mulai
curiga kepada ulos sementara sebagian lagi menganggapnya benar-benar
bertuah.
Antara Ulos dengan Kekristenan
Bolehkah orang Kristen menggunakan Ulos? Bolehkah Gereja menggunakan
jenis kostum atau tekstil yang ditemukan masyarakat Batak pra-Kristen?
Jawabannya sama dengan jawaban Rasul Paulus kepada jemaat Korintus:
Bolehkah kita menyantap daging yang dijual di pasar namun sudah
dipersembahkan di kuil-kuil (atau jaman sekarang disembelih dengan doa
dan kiblat agama tertentu)? Jawaban Rasul Paulus sangat tegas: boleh.
Sebab makanan atau jenis pakaian tidak membuat kita semakin dekat atau
jauh dari Kristus (II Korintus 8:1-11).
Pertanyaan yang sama diajukan oleh orang Yahudi-Kristen di gereja Roma:
Bolehkah orang Kristen makan babi dan atau bercampur darah hewan dan
semua jenis binatang yang diharamkan oleh kitab Imamat di Perjanjian
Lama? Jawaban Rasul Paulus: boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal
makanan atau minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita
Roh Kudus (Roma 14:17). Analoginya sama: bolehkah kita orang Kristen
memakai ulos? Jawabnya : boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal
kostum, jenis tekstil atau mode tertentu, tetapi soal kebenaran, damai
sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, pada masa lalu ulos adalah medium
(pengantara) pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang,
bagi kita komunitas Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi
sekedar sebagai simbol atau tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan
kasih hula-hula kepada boru. Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula
dapat berdoa kepada Allah dan Tuhan Yesus Kristus memohon berkat untuk
borunya. Ulos adalah simbol doa dan kasih hula-hula kepada boru.
Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya: bunga, cincin, sapu
tangan, tongkat dll.
Nilai Ulos Bagi Umat Kristen
Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur
itu tetap bernilai atau berharga minimal karena 4 (empat) hal :
1. Siapa yang memberikannya.
Ulos itu berharga karena orang yang memberikannya sangat kita hargai
atau hormati. Ulos itu adalah pemberian mertua atau tulang atau
hula-hula kita. Apapun yang diberikan oleh orang-orang yang sangat kita
hormati dan menyayangi kita – ulos atau bukan ulos – tentu saja sangat
berharga bagi kita.
Ulos itu berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya sangat
penting bagi kita. Ulos itu mengingatkan kita kepada saat-saat khusus
dalam hidup kita saat ulos itu diberikan: kelahiran, pernikahan,
memasuki rumah dll. Apapun pemberian tanda yang mengingatkan kita kepada
saat-saat khusus itu – ulos atau bukan ulos – tentu saja berharga bagi
kita.
Ulos itu berharga karena tenunannya memang sangat khas dan indah. Ulos
yang ditenun tangan tentu saja sangat berharga atau bernilai tinggi
karena kita tahu itu lahir melalui proses pengerjaan yang sangat sulit
dan memerlukan ketekunan dan ketrampilan khusus. Namun tidak bisa
dipungkiri sekarang banyak sekali beredar ulos hasil mesin yang mutu
tenunannya sangat rendah.
Selanjutnya ulos itu berharga karena dibalik pemberiannya ada pesan
penting yang ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat. Ketika orangtua
atau mertua kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan ulos itu dia
menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan kita
ingat saat kita mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.
Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita
menghargai ulos yang kita terima dari orang yang tidak kita kenal, pada
waktu sembarangan secara masal, dengan kualitas tenunan asal-asalan?
Tidak mungkin. Sebab itu komunitas Batak masa kini harus serius menolak
trend atau kecenderungan sebagian orang "mengobral ulos" : memberi atau
menerima ulos secara gampang. Ulos justru kehilangan makna karena
terlalu gampang memberi atau menerimanya dan atau terlalu banyak.
Bagaimana kita bisa menghargai ulos sebanyak tiga karung?
Siapa Memberi Siapa Menerima
Dalam Batak ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang dianggap lebih
tinggi kepada pihak yang dianggap lebih rendah. Namun keadaan kadang
membingungkan. Ulos diberikan juga justru kepada orang yang dianggap
pemimpin atau sangat dihormati. Dalam kultur Batak padahal ulos tidak
pernah datang dari "bawah".
Lantas mengapa kita kadang memberi ulos kepada pejabat yang justru kita
junjung, atau kepada pemimpin gereja yang sangat kita hormati? Bukankah
merekalah yang seharusnya memberi ulos (mangulosi)? Kebiasaan memberi
ulos kepada Kepala Negara atau Eforus (pimpinan gereja) selain mereduksi
makna ulos juga sebenarnya merendahkan posisi kepala negara dan
pemimpin gereja itu.
Ulos Sebagai Chiri Khas Batak
Ulos memang salah satu ciri khas Batak. Namun bukan satu-satunya ciri
kebatakan. Bahkan sebenarnya ciri khas Batak yang terutama bukanlah ulos
(kostum, tekstil), tetapi bius dan horja, demokrasi, parjambaran,
kongsi dagang, dan dalihan na tolu. Posisi ulos menjadi sentral dan
terlalu penting justru setelah budaya Batak mengalami reduksi yaitu
diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni pernikahan yang sangat
konsumtif dan eksibisionis. Hanya dalam rituslah kostum atau tekstil
menjadi dominan. Dalam aksi sosial atau perjuangan keadilan politik,
ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah tantangan utama
kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita yang lebih
substantif atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan bukan sekadar
meributkan asesori atau kostum belaka.
Kesimpulan :
Ulos Dapat Diterima Dengan Catatan :
1. Sebagian orang Kristen-Batak menolak ulosnya karena dianggap sumber
kegelapan. Padahal darah Tuhan Yesus yang tercurah di Golgota telah
menebus dan menguduskan tubuh dan jiwa serta kultur Batak kita. Ulos
artinya telah boleh dipergunakan untuk memuliakan Allah Bapa, Tuhan
Yesus dan Roh Kudus.
2. Sebagian orang Kristen-Batak mengeramatkan ulosnya. Mereka menganggap
ulos itu keramat, tidak boleh dijual, tidak boleh dipakai. Mereka lupa
bahwa Kristus-lah satu-satunya yang berkuasa dan boleh disembah, bukan
warisan nenek moyang termasuk ulos.
3. Tantangan bagi kita komunitas Kristen-Batak sekarang adalah
menempatkan ulos pada proporsinya : kostum atau tekstil khas Batak.
Tidak lebih tidak kurang. Bukan sakral dan bukan najis. Jangan ditolak
dan jangan dikeramatkan! Jangan dibuang dan jangan cuma disimpan!